Langsung ke konten utama
MENCARI KEADILAN


MENUJU INDONESIA YANG DEMOKRATIS

Spirit kerakyatan yang menjadi watak Negara demokratis merupakan syarat utama dalam format Negara yang berkedaulatan rakyat, karena kekuatan tertinggi terletak ditangan rakyat. Kesetaraan martabat dan persamaan hak politik mengindikasikan tentang kesamaan hak politik dari setiap warga negara.  Juga jabatan publik dari Negara demoratis dipilih oleh, bertanggung jawab dan dapat dipindahkan oleh para pemilih. Lebih dari itu Negara demokrasi tidak bisa tidak harus dapat menunjukan adanya kebebasan politik yang menyangkut kebebasan berpikir, menyatakan pendapat dan aksi dalam urusan politik. Termasuk hak mendapat akses informasi politik serta kebebasan untuk mendiskusikan dan mengkritik figure politik. Dalam suatu Negara demokrasi, selain menghargai mayoritas, juga pelaksanaan kekuasaan harus dipertanggungjawabkan dan responsive terhadap aspirasi rakyat. Demokrasi menuntut suatu dasar kesepakatan ideologis suatu keteraturan dan kebebasan sehingga ada sofistikasi dalam pertarungan politik.
Begitu singkatnya pengaturan hak politik (pasal 28 UUD 1945), hak ekonomi (pasal 33, 34 UUD 1945), sehingga rakyat dalam posisi ‘’rentan’’ dalam politik. Dilain pihak pemerintah (Orla, Orba sampai pada Reformasi) sangat alergi terhadap konvensi-konvensi Nasional, misalnya konvensi tentang hak-hak sipil, politik dan ekonomi. Dalam kondisi yang demikian, bangsa Indonesia menjadi miskin dalam wacana hak asasi manusia, sehingga penguasa lebih leluasa mempraktekkan keculasan politik dan eonomi tanpa terkontrol oleh hukum. Sehingga hokum hanya menjadi administrasi untuk  melegetimasi praktek kesewenangan ekonomi (korupsi), poitik (tirani), dan hubungan gelap transaksional (kolusi) pemegang kekuasaan dan pemilik modal. Produk Undang-Undang yang dihasilakn oleh legislatif asil struktur politik dan pemilu yang tidak demokratis, akan menghasilkan Undang-Undang yang jelek kualitasnya.
Proses pelaksanaan demokrasi akan tampil secara angkuh, manakala sendi-sendinya tidak diberi minyak pelumas hukum yang adil, tetapi hanya ditopang oleh kekuatan fisik (militer, penggalang massa), tanpa nurani kebenaran moral. Dan hukum yang dikedepankan adalah hukum yang represif seperti antara lain UU Sub-versi UU No. 11/1963. Undang-Undang ini termasuk salah aturan hukum pidana di bidang tindak pidana politik yang dalam prakteknya telah banyak membelenggu hak-hak politik rakyat selama ini seperti ,ahasiswa, intelektual, dan tokoh-tokoh Islam yang kritis. Perangkat hukum keras (hard law) ini, menjadi bagian dari kultur politik selama Orde baru sampai saat ini kemudian dianggap sangat efektif dan dijadikan instrumen permainan kuasa suatu rezim kekuasaan.
Tujuan hukum adalah untuk keadilan dan orientasinya adalah untuk daya guna bagi masyarakat banyak serta peningkatan martabat kemanusiaan. Bukan sekedar sebagai instrumen kelestarian kekuasaan suatu rezim. Hal ini mengisyaratkan bahwa pembentukan Undang-Undang secara proseduril tidak boleh melanggar kaidah konstitusi (pasal 22 UUD 1945), sehingga penyimpangan fundamental harus dihindarkan. Pemaksaan dengan kekuasaan belaka pemberlakuan aturan hukum yang tidak selaras dengan moralitas demokrasi dan nurani masyarakat, akan menghasilkan masyarakat yang hipokrit sehingga  berujung pada partisipasi masyarakat semakin jauh. Padahal partisipasi masyarakat merupakan sumber daya yang potensialdalam pembentukan hukum yang baik.
Dengan demikian, untuk menuju masyarakat Indonesia demokratis atau masyarakat madani perlu adanya pembaharuan visi dalam perangkat hukum Indonesia. Disamping pemberdayaan dan kemerdekaan institusi peradilan. Kejelasan visi dalam perangkat hukum tersebut memperjelas ‘’political rights’’ seperti hak petisi, hak pilih, partisipasi dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik, juga tentang ‘’civil rights’’ jaminan untuk tidak semena-mena, atau anti penyiksaan juga menyangkut praktisi hukum dan perlakuan hokum yang procedural.

Sehari mencari keadilan lebih berharga dari enam puluh tahun melakukan ibadah (Nabi Muhammad SAW)

Semua manusia memiliki kecendrungan alamiah terhadap keadilan (Aristoteles)

Ia yang mengharapkan jalan setapak menuju kepada keadilan akan memiliki kebun dengan bentang yang sangat kuat (Al-Kindi)


Catatan Aktivis Jalanan
Lembata, 13 Mei 2019

Abdullah syukur (Soe Hoe Gie)

Kalikur WL, Kec.Buyasuri-Lembata

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Perjalanan Aku adalah jalan raya Tempat kakimu menuju bahagia Aku adalah warung-warung kopi Tempat kau wujudkan mimpi Aku adalah pantai yang penuh dengan senja Tempat kau menerjemahkan warna Perjalanan adalah hidup Sesuatu yang akan tetap kuhadapi selama dadaku berdegup Hilangkan rasa gugup Pertahankan semangat agar tak redup Janganlah kau menemukan arah jalan dengan mata tertutup Pelan atau laju hanyalah cara untuk menuju Sejatinya, perjalanan bukanlah cepat atau lambat sampai Namun apa yang kau rasakan setelah petualangan usai Balauring, 01 November 2019 Soe Hoe Gie
Puisi Lelah Sikapku mangalah Berujung ragu berhenti melangkah Serpihan kenangan semakin bertingkah Kasih,, lepaskanlah semua gelisah Ini hanya tumpahan luka yang merenggut kisah Aku tau,.. Inginmu adalah menepi Dari sekat ruang yang kau anggap duri Apa itu lelah yang sedang kau nanti? Bukankah perasaan kita pernah sama-sama mati? Janganlah kau berlari Apalagi bersembunyi dibalik semak berduri Kasih,,Sampai jumpa dilain hari Karena semesta akan terus menghampiri Sampai kau tak lagi membelah diri Mungkin, disinilah tempat kita di uji Mungkin... Entahlah... Lembata, 19 Oktober 2019 Gubahan... Soe Hoe Gie
Puisi KITA YANG BERUJUNG LUKA Dari setiap helai peristiwa kala itu Yang tersisa hanyalah sebingkai gambaran Kenangan tentang yang lalu bernostalgia disetiap sisi pertemuan Entah apa yang terjadi kemarin Merebak bahkan terus merobek Cinta menghadirkan luka Kemarahan yang tak berujung membaik Gelisah yang berakhir kecewa Lantas, cemburu harus digadaikan dengan perspisahan. Untuk apa semua ini? Untuk apa bertahun mengekang Pada akhirnya masing-masing mecari jalan untuk pulang Tak perlu salahkan takdir Hanya saja kita yang masih amatir Angkuhnya perbedaan tak membuat kita jernih berfikir Memandang rindu hanyalah sebagai jalan untuk menemui akhir. Kalikur WL, 16 Maret 2020 Soe Hoe Gie